Sabtu, 31 Oktober 2009

MENCARI TUHAN

Sebuah monolog singkat, oleh: Qin Mahdy
Di sebuah negeri entah, jauh sekali di ujung sana, tepatnya di awal-awal permulaan manusia baru mengenal bahwa mereka adalah manusia. Punya pemikiran, punya perasaan, punya insting, memiliki dua mata, dua kaki, dua tangan, pandai berburu dan memasak makanan. Di sana hiduplah seorang Kakek Tua Ramping, giginya sudah rumpang, badannya kurus kering, bersama ribuan anak cucu cicitnya yang sedang memperjuangkan hak hidup di tengah musim kemarau panjang yang membunuh. Sudah hampir 2 tahun negeri ini dilanda oleh kekeringan. Semuanya punah, pepohonan mati, binatang-binatang mati, mata air mati, tanah-tanah meretak pokak, dan yang paling menyedihkan anak cucunya pun satu persatu mulai berguguran. Mereka tak lagi peduli pada sesama, jika ada yang sakit biarkan saja tergeletak tak berdaya menemui ajalnya sendiri. Sebagian mereka ada yang mencoba pindah ke daerah lain, bersembunyi di semak-semak mentari, mencari tempat berteduh, dan bahkan diantara mereka banyak yang mati mencekik leher sendiri karena tak sanggup lagi menahan rasa sakit yang luar biasa berat.
Dari sekian banyak cucunya yang masih muda-muda, hanya 3 orang yang masih sanggup memperjuangkan hidupnya bersama Kakek Ramping, yaitu Jagal, Jabal dan Jamal. Pada saat sulit inilah mereka baru berpikir tentang Tuhan. Mereka baru berpikir tentang penciptaan. Mereka baru berpikir tentang kekuasaan. Mereka baru berpikir tentang adanya kekuatan yang lebih tinggi dari manusia.
Kakek Ramping itu kemudian berdiri di hadapan wajah-wajah cucunya yang sedang murung.
”Cucuku, Jagal, Jabal, Jamal, sudah cukup lama kalian hidup tentnunya, adakah diantara kalian tahu siapa zat yang lebih tinggi dari kalian?”
Jagal, Jabal dan Jamal saling melirik, kemudian mereka menggeeng-gelengkan kepalanya.
”Coba pikirkan sekali lagi, adakah diantara kalian tahu siapa Tuhan kalian? Siapa yang membuat musim ini menjadi demikian ganas? Siapa yang telah melenyapkan semua harta kekayaan yang kita miiki? Ayo jawab Jagal, Jabal, Jamal jawaaab!”
Jagal, Jabal dan Jamal malah menangis.
”Kalau begitu ayo temani kaket ke bukit Was. Kakek ingin menemui Tuhan, agar Ia menghidupkan kembali cucu-cukuku yang telah berguguran, menghidupkan kembali pepohonan yang lama tak lagi bertunas, menghidupkan kembali binatang buruan kita yang punah, menyuburkan kembali tanah-tanah kita yang retak, dan yang paling penting agar Ia mau menurunkan hujan air selebat-lebatnya.”
Empat manusia ini pun akhirnya berangkat menuju bukit Was, merupakan dataran tertinggi yang cukup jauh dari tempat mereka tinggal. Mereka berjalan kaki menyusuri bebatuan, padang pasir, bukit-bukit kecil, lembah, hingga menembus hutan belantara yang panas. 
Pada setiap benda-benda yang mereka temui, mereka bersujud, menyembah, memohon, meminta diturunkan hujan.
Tuhanku batu-batu berikan kami air!
Tuhanku kayu-kayu berikan kami air!
Tuhanku pasir-pasir berikan kami air!
Tuhanku bukit-bukit berikan kami air!
Tuhanku matahari berikan kami air!
Tuhanku tanah bumi berikan kami air!
Tuhanku langit luas berikan kami air!
Tuhanku....
Jagal terdiam, ia meringis kehausan, matanya berlinang air mata, ia terlihat tidak sanggup lagi menahan nafasnya yang hampir putus dari raga.
”Jagal, kuatkan dirimu nak, kita harus bisa menemui Tuhan.”
”Jagallllllllllllllll.”
Jagal tak bisa diselamatkan, ia mengakhiri hidupnya dalam sebuah perjuangan perncarian Tuhan. Mereka bersedih. Tak lama kemudian mereka meninggalkan mayat Jagal tergeletak sendiri di hadapan wajah langit yang panas. Mereka pun terus berucap dan bersujud pada semua benda yang mereka lihat hingga sampai pada waktu malam.
Tuhanku gelap gulita berikan kami air!
Tuhanku bulan purnama berikan kami air!
Tuhanku Jamal berikan kami air!
Tuhanku Jabal berikan kami air!
Mereka letiih. Mereka tak menemukan apapun hari itu hingga tertidur pulas di peluk malam. Namun, mereka terkejut saat siang mencelang, melihat Jabal telah mengakhiri hidupnya dengan posisi tubuh telungkup, Kekek Ramping dan Jamal terisak-isak meratapi kepergian Jabal. Sampai-sampai Jamal terjatuh, ia pun tak kuasa menahan rasa lemas di sekujur tubuhnya. Memegang lehernya erat-erat.
”Jamal, kau harus harus hidup nak, kau bisa bertahan. Kita harus ke atas bukit, menemui Tuhan. Engkau adalah satu-satunya harapan manusia akan datang nak. Engkau harus hidup Jamal.”
Dengan susah payah kakek memanggul jamal hingga sampai ke atas bukit Was. Namun, Jamal terlihat kaku, ia tak lagi bernafas. Sementara Kakek Ramping sambil berlinang air mata, meletakkan tubuh Jamal di atas sebuah batu besar. Kemudian ia berdiri dan membentangkan kedua tangannya selebar mungkin di atas bukit Was, menghadapkan wajahnya pada lembah-lembah bisu.
”Jamal, wahai pemilik Jamal!”
“Wahai pemilik bukit Was!”
”Wahai pemilik matahari!”
”Wahai penguasa semesta!”
”Hidupkanlah Jamal dengan hujanmu yang selebat-lebatnya.”
”Aku tak ingin melihat wajahmu, karena engkau begitu sombong, tapi aku ingin engkau memperlihakan kebesaranmu wahai pemilik Jamal!
”Turunkan hujanmu Tuhaaaaaaaaaaan!”
************
”Jamal, Jamal, hujan Jamal.”
Allaaaaaaahuakbar!

Dipentaskan Dalam Acara Bulan Bahasa, GSC UIN Jakarta, 31 Oktober 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar