Selasa, 03 November 2009

AMARAH MUSIM

Seperti Firman Tuhan
Dalam mimpi raja Qithfir
Melihat tujuh ekor sapi betina
yang gemuk-gemuk
Dimakan oleh tujuh ekor sapi betina
yang kurus-kurus
Dan tujuh bulir gandum
yang hijau
Dan tujuh bulir lainnya
yang kering
Telah menjadi kisah Yusuf
Menenangkan amarah musim.


Qin Mahdy, Juni 2009

MEMBUNUH ZAMAN

Aku, 
Ingin membunuh zaman
Agar tak lekas melaju
Pada tujuan angan.

Karena,
Anak-anak negeri banyak tak pandai
Mengemudi kapal
Di arus sintal.
Arus yang telah menenggelamkan
Sejarah panjang kerajaan Pasai.

Memang,
Kita tak seperti orang-orang pantai
Cekatan memburu ombak
Kadang membangun Istana
Di kedalaman kerang mutiara.

Sekarang,
Tak usahlah berbalik arah
Di musim yang tak juga membaik
Elok kita berhenti di sini
Pada angin-angin ribut
Pada siang-siang gelombang
Pada malam-malam darah.

Pada permulaan musim
Perbanyaklah membaca peta
Agar kita tak tersesat
Menebak semua arah
Arah yang kan melaju
Lepas
Entah kemana.


Qin Mahdy, Mei 2009

SIASAT SESAT

Sajak ini telah lama
Kugoreskan pada lembar-lembar
Kelopak mawar berduri
Kini dihinggapi seekor lalat
Menjadi gulungan sajakku punah
Oleh kepompong nakal
Yang bermimpi jadi kupu-kupu cantik
Pada sari bunga beracun
Yang telah dicemari oleh sabda palsu
Nabi-nabi baru yang mencoba turun
Dari pertapaan singkat
Membawa firman seekor kambing betina
Bernama Samiri.


Qin Mahdy, Mei 2009

Minggu, 01 November 2009

MENAKAR KATA

Aku sering menjemur kata
Pada punggung benang-benang
Putih yang tak lagi tampak
Oleh mata telanjang.

Kadang aku hanya mengira
Pada bagian mana ia akan tersangkut
Namun, tak jarang kataku banyak yang jatuh
Ke dalam limbah hangat 
Mulut-mulut pendusta.


Qin Mahdy, 2 November 2009

GADIS EMBUN

Sehelai kelopak mawar 
Kutemukan terkapar 
Diantara sisa-sisa pembakaran 
Sampah-sampah dosa 
Yang membusuk. 
Pada sisinya, 
Ku lihat setetes embun 
Tak menangis, 
Justru tersenyum melihat senyumku. 

Qin Mahdy, 2 November 2009

Sabtu, 31 Oktober 2009

MENCARI TUHAN

Sebuah monolog singkat, oleh: Qin Mahdy
Di sebuah negeri entah, jauh sekali di ujung sana, tepatnya di awal-awal permulaan manusia baru mengenal bahwa mereka adalah manusia. Punya pemikiran, punya perasaan, punya insting, memiliki dua mata, dua kaki, dua tangan, pandai berburu dan memasak makanan. Di sana hiduplah seorang Kakek Tua Ramping, giginya sudah rumpang, badannya kurus kering, bersama ribuan anak cucu cicitnya yang sedang memperjuangkan hak hidup di tengah musim kemarau panjang yang membunuh. Sudah hampir 2 tahun negeri ini dilanda oleh kekeringan. Semuanya punah, pepohonan mati, binatang-binatang mati, mata air mati, tanah-tanah meretak pokak, dan yang paling menyedihkan anak cucunya pun satu persatu mulai berguguran. Mereka tak lagi peduli pada sesama, jika ada yang sakit biarkan saja tergeletak tak berdaya menemui ajalnya sendiri. Sebagian mereka ada yang mencoba pindah ke daerah lain, bersembunyi di semak-semak mentari, mencari tempat berteduh, dan bahkan diantara mereka banyak yang mati mencekik leher sendiri karena tak sanggup lagi menahan rasa sakit yang luar biasa berat.
Dari sekian banyak cucunya yang masih muda-muda, hanya 3 orang yang masih sanggup memperjuangkan hidupnya bersama Kakek Ramping, yaitu Jagal, Jabal dan Jamal. Pada saat sulit inilah mereka baru berpikir tentang Tuhan. Mereka baru berpikir tentang penciptaan. Mereka baru berpikir tentang kekuasaan. Mereka baru berpikir tentang adanya kekuatan yang lebih tinggi dari manusia.
Kakek Ramping itu kemudian berdiri di hadapan wajah-wajah cucunya yang sedang murung.
”Cucuku, Jagal, Jabal, Jamal, sudah cukup lama kalian hidup tentnunya, adakah diantara kalian tahu siapa zat yang lebih tinggi dari kalian?”
Jagal, Jabal dan Jamal saling melirik, kemudian mereka menggeeng-gelengkan kepalanya.
”Coba pikirkan sekali lagi, adakah diantara kalian tahu siapa Tuhan kalian? Siapa yang membuat musim ini menjadi demikian ganas? Siapa yang telah melenyapkan semua harta kekayaan yang kita miiki? Ayo jawab Jagal, Jabal, Jamal jawaaab!”
Jagal, Jabal dan Jamal malah menangis.
”Kalau begitu ayo temani kaket ke bukit Was. Kakek ingin menemui Tuhan, agar Ia menghidupkan kembali cucu-cukuku yang telah berguguran, menghidupkan kembali pepohonan yang lama tak lagi bertunas, menghidupkan kembali binatang buruan kita yang punah, menyuburkan kembali tanah-tanah kita yang retak, dan yang paling penting agar Ia mau menurunkan hujan air selebat-lebatnya.”
Empat manusia ini pun akhirnya berangkat menuju bukit Was, merupakan dataran tertinggi yang cukup jauh dari tempat mereka tinggal. Mereka berjalan kaki menyusuri bebatuan, padang pasir, bukit-bukit kecil, lembah, hingga menembus hutan belantara yang panas. 
Pada setiap benda-benda yang mereka temui, mereka bersujud, menyembah, memohon, meminta diturunkan hujan.
Tuhanku batu-batu berikan kami air!
Tuhanku kayu-kayu berikan kami air!
Tuhanku pasir-pasir berikan kami air!
Tuhanku bukit-bukit berikan kami air!
Tuhanku matahari berikan kami air!
Tuhanku tanah bumi berikan kami air!
Tuhanku langit luas berikan kami air!
Tuhanku....
Jagal terdiam, ia meringis kehausan, matanya berlinang air mata, ia terlihat tidak sanggup lagi menahan nafasnya yang hampir putus dari raga.
”Jagal, kuatkan dirimu nak, kita harus bisa menemui Tuhan.”
”Jagallllllllllllllll.”
Jagal tak bisa diselamatkan, ia mengakhiri hidupnya dalam sebuah perjuangan perncarian Tuhan. Mereka bersedih. Tak lama kemudian mereka meninggalkan mayat Jagal tergeletak sendiri di hadapan wajah langit yang panas. Mereka pun terus berucap dan bersujud pada semua benda yang mereka lihat hingga sampai pada waktu malam.
Tuhanku gelap gulita berikan kami air!
Tuhanku bulan purnama berikan kami air!
Tuhanku Jamal berikan kami air!
Tuhanku Jabal berikan kami air!
Mereka letiih. Mereka tak menemukan apapun hari itu hingga tertidur pulas di peluk malam. Namun, mereka terkejut saat siang mencelang, melihat Jabal telah mengakhiri hidupnya dengan posisi tubuh telungkup, Kekek Ramping dan Jamal terisak-isak meratapi kepergian Jabal. Sampai-sampai Jamal terjatuh, ia pun tak kuasa menahan rasa lemas di sekujur tubuhnya. Memegang lehernya erat-erat.
”Jamal, kau harus harus hidup nak, kau bisa bertahan. Kita harus ke atas bukit, menemui Tuhan. Engkau adalah satu-satunya harapan manusia akan datang nak. Engkau harus hidup Jamal.”
Dengan susah payah kakek memanggul jamal hingga sampai ke atas bukit Was. Namun, Jamal terlihat kaku, ia tak lagi bernafas. Sementara Kakek Ramping sambil berlinang air mata, meletakkan tubuh Jamal di atas sebuah batu besar. Kemudian ia berdiri dan membentangkan kedua tangannya selebar mungkin di atas bukit Was, menghadapkan wajahnya pada lembah-lembah bisu.
”Jamal, wahai pemilik Jamal!”
“Wahai pemilik bukit Was!”
”Wahai pemilik matahari!”
”Wahai penguasa semesta!”
”Hidupkanlah Jamal dengan hujanmu yang selebat-lebatnya.”
”Aku tak ingin melihat wajahmu, karena engkau begitu sombong, tapi aku ingin engkau memperlihakan kebesaranmu wahai pemilik Jamal!
”Turunkan hujanmu Tuhaaaaaaaaaaan!”
************
”Jamal, Jamal, hujan Jamal.”
Allaaaaaaahuakbar!

Dipentaskan Dalam Acara Bulan Bahasa, GSC UIN Jakarta, 31 Oktober 2009

Selasa, 27 Oktober 2009

PENYAIR M. YAMIN MERUMUSKAN SUMPAH PEMUDA

Sumpah Pemuda versi orisinal

Pertama
Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia.
Kedoea
Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia.
Ketiga
Kami poetera dan poeteri Indonesia, mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.

Sumpah Pemuda versi Ejaan Yang Disempurnakan

Pertama
Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia.
Kedua
Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia.
Ketiga
Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indonesia.

Moehammad Yamin, 1928

Senin, 26 Oktober 2009

KENAPA MALU MEMBUAT PEMBAHARUAN?

Oleh: Hasan Aspahani
Nirwan Dewanto betul. Siapa saja bisa mengalami pengalaman batin yang sama, juga penyair, misalnya ketika mabuk di bawah bulan purnama, terbuai di depan ombak, dan lain-lain. Ini mungkin yang disebut Subagio Sastrowardoyo: keterharuan. Dia betul, pengalaman batin itu belum pasti akan menjadi sebuah puisi, apa yang ia sebut sebagai artefak kata-kata. 

Justru di situlah bedanya penyair dan yang bukan penyair. 
Si penyair kemudian melanjutkan keterharuan itu, dia menggarap puisi: dia menciptakan artefak kata-kata yang bernama puisi itu. Artinya si penyair "terilhami" (sesuatu yang ditolak oleh Nirwan) oleh pengalaman batin itu. Memangnya apa sih yang membuat penyair itu kemudian terdorong untuk meraih bahasa lalu memakai itu sebagai wadah untuk "membentuk" pengalaman batin tadi atau keterharuan tadi? 

Saya sendiri menggarap sebagian puisi dengan bermodal keterharuan kecil-kecilan dari pengalaman biasa saja, yang bisa dialami oleh siapa saja: didera bosan di pesawat, menunggu di ruang keberangkatan, terbaring sendiri di hotel, di dalam taksi ke bandara. Ini sangat tidak istimewa, bukan? Dan memang belum tentu bisa jadi sajak. Pengalaman kecil-kecil itulah yang saya sajakkan.

Saya setuju pada apa yang dia katakan kemudian. "Seandainya seorang penyair melihat darah tumpah di jalanan, maka soalnya apakah ia mampu membuat apa yang dilihatnya menjadi darah kata-kata," katanya.

Nah, itulah soalnya. Bagaimana mengolah darah di jalanan itu menjadi darah kata-kata? 

Ini jawaban Nirwan, katanya, untuk membuat darah kata, daging kata, dan tubuh kata, si penyair harus memencilkan diri ke dalam ruang studinya. 

"Ia masuk ke dalam lingkungan bahasa, tepatnya lingkungan tulisan, yang memberikan kepadanya bentuk-bentuk pengucapan yang mungkin," katanya. 

Bila penyair mengolah yang mungkin ini, tulis Nirwan, ia bisa pula menemukan yang mustahil — yang membuatnya bergerak lebih cepat ketimbang rekan-rekannya. 

Aha! Banyak yang bisa saya setujui sejauh ini. Tapi, kenapa Nirwan melihat posisi penyair begitu lemahnya di depan bahasa? Selain lingkungan bahasa itu memberikan bentuk-bentuk pengucapan yang mungkin, bukankah penyair juga bisa dan boleh (atau bahkan harus) menciptakan kemungkinan-kemungkinan pengucapan itu? Bukan sekadar menemukan! 

Dulu Nirwan pernah menulis bahwa penyair A hanya memperluas sajak-sajak penyair X, dan penyair B mencairkannya, sementara si penyair C mengulang-ulang saja. Saya dulu membaca itu sebagai cambukan darinya agar saya mencari sesuatu yang baru, membuat pembaharuan. 

Tapi kenapa dalam tulisan di blog "majalah dinding"-nya itu dia bilang tak percaya pada kata "pembaharuan" dalam sajak?

Dia tulis: ...boleh jadi ia akan malu menyebut dirinya sebagai pembaharu, sebab sejarah-sejarah sastra di dunia ini adalah lautan pembaharuan. "Ia tahu, jargon 'pembaharuan' hanya membatasi geraknya. Sebab ia ingin leluasa bergerak ke depan, ke belakang, ke samping, ke atas dan ke bawah," katanya.

Kenapa ia bilang "pembaharuan" itu hanya jargon yang menjadi beban? Yang membatasi ruang gerak? Kenapa pembaharuan itu tak membuat ia leluasa bergerak ke mana-mana?

Lalu bagaimana dulu pembaharuan itu dalam sepanjang sejarah sastra itu menjadi "lautan" kini.

Saya percaya, membuat pembaharuan itu sungguh tidak mudah. Pun tak mudah dikenali. Lima tahun setelah kematian Chairil, Asrul Sani menulis bahwa sajak-sajak sahabatnya itu masih berupa hutan luas yang perlu ditebas. Artinya, apa yang sekarang kita kenali sebagai "kebaruan" dalam sajak-sajak Chairil, saat itu pun belum tertandai, bahkan masih ditolak dan dianggap merusak bahasa. Chairil kita tahu, adalah orang yang getol banget pada pembaharuan. Entahlah, kenapa Nirwan tak sebersemangat itu, ya? 

Saya percaya, siapa pun yang bergerak di dunia kreatif, khususnya sastra, dan ingin menghasilkan sesuatu yang dicatat dalam sejarah kelak, maka ia harus membuat pembaharuan. Dan itu, percayalah tidak mudah, dan belum tentu berhasil sepanjang sejarah perjalanan kreatif kita. Tanpa semangat menemukan pembaharuan itu, maka dunia sastra kita hanya akan dipenuhi oleh karya-karya yang mengulang-ulang saja, bukan?

:: Gunjing tak gentar, membela yang argumennya paling ngawur! :-) Lanjutkan!
Sumber: Gunjing Sastra(4) http://www.facebook.com/note.php?note_id=153721503308

Kamis, 22 Oktober 2009

PENYAIR "KURNIA EFFENDY" MEMBATIK PUISI

BATIK

Mungkin aku hanya selembar mori, awalnya 
Sebagai pembungkus jenazah, mengantarnya ke liang lahat: 
Lorong yang menghubungkan ke semesta yang lebih keramat 

Namun suatu hari tangan seni membentangkan diriku 
Seuntai garis, seberkas corak, menghias tubuhku serupa tatu 
Dirundung lilin cair dengan tekun, seperti prosesi embun 
Direndam dalam gelimang warna, mengisi ruang benang 
yang tak terlindung. Sebelum sorot surya mengekalkannya 
Demikian silih berganti, berhari-hari, berhati-hati 

Aku pernah menjadi mori, katun, kain satin, cita sutra 
Dan serat nenas menyusup ke dalam jalinan 
Dicium bibir canting dengan kesungguhan dan tiupan ruh  
sang juru sungging. Mata yang teduh menatap sabar penuh kasih 

Agar tiap bercak, lengkungan, dan tebal-tipis rona, memiliki irama 
Berbeda antara satu dan tangan mumpuni yang lain, tercipta sejumlah nama 
Untuk tiap kelahiran di pedalaman maupun pesisiran 
Bermacam cara membentuk citra tak serupa, antara tulis dan tera 

Ke pelbagai negeri keluargaku bermuhibah, hingga antah-berantah 
Tercatatlah tempat lahir yang menjadi buah bibir: 
Surakarta, Yogyakarya, Pekalongan, Cirebon, Banyuwangi, Garut,  
Tegal, Lampung, Palembang, Makassar, Banjar, dan seantero yang lain 

Mungkin aku pernah ningrat dalam buaian sayang pemilik darah biru 
Namun tak menolak turun anjangsana ke pelataran rakyat jelata 
Mengiringi perjalanan para saudagar, menghias tubuh pengantin,  
Menjadi selendang penari, mewarnai pelbagai festival dan karnaval 

Janjiku dari Tanah Pertiwi:  
”Kepada siapa pun aku ingin mengabdi  
sebagai jati diri.” 


Jakarta, 2 Oktober 2009 
Sumber: http://sepanjangbraga.blogspot.com/


APA YANG DIBAWA OLEH PUISI?

Oleh: Hasan Aspahani
Agak sulit saya memahami apa yang disebutkan Nirwan dalam tulisannya dengan kalimat ini: Sebuah puisi memang tidak membawa berita, tapi membimbing kita ke sebuah lingkungan bahasa. 

Lalu apa yang dibawa oleh puisi? Kosong saja? Tak ada pesan apa-apa? Hanya membawa pembaca ke sebuah lingkungan bahasa? Apa itu lingkungan bahasa? Apakah maksudnya puisi itu semata-mata urusan linguistik saja? Urusan kata dan frase? Urusan "fisik" belaka?

Kalau puisi tidak membawa berita, bagaimana dengan syair Melayu yang "memberitakan" tentang perkawinan anak Kapitan Cina. Apakah maksud Nirwan ini sajak modern saja? Ada syair yang berisi ajaran moral, dan bukankah itu semacam berita juga? 

Mungkin kita perlu bantuan kalimat berikutnya. Katanya: ...Puisi itu, secara tersirat atau tersurat, mengatakan seluruh kekayaan yang dimiliki bahasa yang bersangkutan, dan bagaimana kekayaan yang demikian menciptakan “kepribadian” si pembuatnya.

Kita bisa mengajukan sederet pertanyaan pada Nirwan: Bukankah, si penyair itu yang memilih untuk mengunakan khazanah kekayaan bahasa yang mana yang hendak ia pakai untuk puisinya? Bukankah penyair itu justru diuji kepenyairannya dari sejauh mana ia menguasai kekayaan itu? 

Apakah Nirwan menganggap proses "mengatakan kekayaan bahasa secara tersirat dan tersurat" oleh puisi itu sama sekali tak ada peran si penyair di situ? Apakah ia hanya menulis, dan tanpa sadar puisinya lantas menyiratkan dan menyuratkan seluruh kekayaan bahasanya? Lalu si penyair begitu saja menerima apa yang "diciptakan" oleh puisi sebagai kepribadiannya?

Saya kira, kalau mau setuju pada kalimat Nirwan di atas, saya seperti melihat bahwa proses menulis puisi itu diserahkan pada sesuatu di luar kuasa penyair. Semacam digerakkan oleh ilham yang berasal dari "kekayaan bahasa". Tapi bukankah Nirwan tak percaya pada ilham?

Kalimat sambungan dari Nirwan yang perlu dipetik juga dalam pergunjingan ini. "Atau, secara terbalik: bagaimana kekayaan tersebut justru tak berguna apa pun, kecuali memiskinkan si penyair, yang percaya belaka kepada ilham," katanya.

Bahasa itu pasif. Dia diam saja. Ia memberikan potensi yang sama besarnya bagi siapa saja. Seberapa besar potensi itu bisa dimanfaatkan oleh penyair A, dan seberapa besar yang bisa digarap oleh penyair B ditentukan oleh - ah sederhana saja - seberapa dalam ia bisa menggali, menjajal, "memiuhkan", memain-mainkan, segenap khazanah kekayaan bahasa yang ada. 

Bukankah kata "mandi", "kamar mandi", "kuburan" dan kata-kata lain itu, di tangan Joko Pinurbo menjadi punya "darah segar" yang menggairahkan puisi-puisinya? Potensi itu tidak dicomot begitu saja oleh Joko Pinurbo dari kekayaan bahasa, bukan? Ia dengan rajin dan gelisah mengolah bahasa itu. Ia mengasah. 

:: Let's go! Pergunjingan belum selesai, dan akan makin tidak bermutu...

Sumber: http://www.facebook.com/note.php?note_id=153195428308

Selasa, 20 Oktober 2009

PUISI "MENGHAYAL JADI PRESIDEN" DAN "KKN" JOSE RIZAL MANUA

MENGHAYAL JADI PRESIDEN

Termenung di atas kloset
Menghayal, jadi
Presiden.
......
Plung!

2006

KKN

KKN bukanlah Kuliah Kerja Nyata
bukan pula Kondom Kuda Nyengir
Yang lain boleh ngocol tentang
Koncoisme, Nyogokisme dan Nyolongisasi.

Karena nyatanya roda ekonomi
berputar-putar di lingkaran
keluarga dan kerabat dekat.

”Kulik-kulik elang
anak gagak di belakang
culik-culik orang
anak tamak di kelangkang”

Di mana gurita tua lumutan
memain bidak-bidak perusahaan
dengan ribuan tangan.

Dari hulu ke hilir
dari bulu ke pelir
mengakar Nepotisme
berjanggut Kolusi
dan beruban Korupsi.

Tekuk sana, bekuk sini
lipat sana, sikut sini
sikat sana, sogok sini
pasok sana, tutup sini
bocor sana, ngocor sini.

Jurang hidup menguak makin lebar
yang lihai menjilt jadi konglomerat
yang selamanya melarat tambah sakarat.

”Kulik-kulik elang
anak gagak di belakang
culik-culik orang
anak tamak di kelangkang”

KKN bukan Kuliah Kerja Nyata
bukan pula Kondom Kuda Nyengir.


2006

Minggu, 18 Oktober 2009

PUISI DARI SEORANG TERORIS (IMAM SAMUDRA)

Tangismu,
Wahai bayi-bayi tanpa kepala
dibentur di tembok-tembok Palestina.
Jeritmu,
Wahai bayi-bayi Afganistan
yang memanggil-manggilku
tanpa lengan.
Ini Aku,
Saudaramu
datang dengan secuil bom.
Kan kubalas
sakit hatimu.
Kan ku balas
darah-darahmu.

Sumber, Majalah Sabili 2009

Sabtu, 17 Oktober 2009

PEPATAH SUNGAI KECIL KAHLIL GIBRAN


Aku berjalan-jalan di lembah 

saat fajar mulai berbicara 
tentang rahasia keabadian. 
Dan ada sebuah sungai kecil 
mengalir di jalurnya, 
kudengar ia bernyanyi, 
berseru, dan berkata;

Hidup bukanlah suka ria semata,
tapi hidup adalah hasrat dan tekad.

Kebijaksanann bukanlah di dalam kata-kata, 
tapi kebijaksanaan adalah makna di dalam kata.

Kebesaran bukanlah berada di dalam kedudukan yang tinggi, 
tapi kebesaran diperuntukkan bagi mereka yang menolak kedudukan.

Kemuliaan manusia bukan karena keturunannya, 
karena berapa banyak orang mulia adalah keturunan pembunuh.

Syurga tidak berada dalam penyesalan, 
tapi syurga berada di dalam hati yang suci.

Neraka bukanlah dalam penyiksaan, 
tapi neraka berada dalam hati yang hampa.

Kekayaan bukanalah terletak pada uang semata, 
karena berapa banyak para pengembara adalah orang orang-orang paling kaya diantara semua manusia.

Tidak semua orang miskin itu tercela, 
karena kekayaan dunia ini berada dalam selembar roti dan jubah.

Kecantikan tidak terdapat pada wajah,
tapi kecantikan adalah cahaya di dalam jiwamu.

Selasa, 13 Oktober 2009

GELISAH SENJA DI TANAH GADANG

Qin Mahdy
Mengenang Tragedi Gempa Sumatra, 2009


Sore, di bumi Minang.

Ketika itu orang-orang telah berjalan pulang
menuju rumah-rumah,
menuju gubuk-gubuk, menuju gedung-gedung,
menuju tempat perberhentian
walau untuk sekedar menghela nafas.

Kulihat anak-anak tak ada lagi yang bermain
di halaman rumah-rumah mereka.
Hanya menyisakan gulungan karet gelang yang bertebaran,
kertas bekas, sisa plastik jajanan dan tapak-tapak
kaki kecil yang belum terbenam
pada bulir-bulir debu yang masih cukup hangat.

Senja belumlah kelam,
Karena mata adik kecilku belum terpejam
Namun, lampu-lampu jalan telah menyala terang
Ingin menghidupkan malam yang baru memulai rencana.

”Aku ingi sekali keluar jendela,
melihat dari dekat gerak jarum jam di pusat kota”.
Namun, ibuku ingin aku tetap di rumah,
karena ”Senja adalah waktu bencana.”

Grrrrrrrrrrrrrrrr....
Huaaaaaaaaaaaaaaahhhhhh
Tolong! Tolong! Tolong!
Allahuakbar... Allahuakbar... Allahuakbar...!

Belum lama ibuku bertutur
Sekejap hatiku telah disambar oleh hingar-bingar
jeritan manusia dari berbagai penjuru arah.
Suaranya membahana, memekik pilu, menjerit luka
Hingga sesak rongga dadaku
yang tak mampu lagi menampung beban gelisah.

Akupun menjerit!
Ucapan takbir tak lepas kukumandangkan,
Pada ruang-ruang, pada mulut ibuku.
Sementara adik kecilku menangis tersedu-sedu
Bertanya tentang persoalan apa yang sedang
menimpa kita?

Gempa nak! Ini gempa!
Kita harus segera menyelamatkan diri.

Di sekelilingku dinding bergoncang hebat,
hingga meretak pokak dalam hitungan yang tak lagi berdetik
Semuanya hancur lebur, tiang-tiang berjatuhan
menimpa tubuhku jadi tak berdaya.

Sttttt
Sekejap sepi...

Kemana ibu? Dimana adikku?
Mengapa semua orang tak mau menjawab?
Ingin sekali aku berlari keluar sekencang-kencangnya,
menyelamatkan mereka dari petaka.
Namun, aku telah terperangkap bu,
oleh puing-puing maut yang membunuh
yang telah menusuk tajam, membentur memar,
menggiling lumat tubuhku tak lagi berupa.

Kini aku melihat kalian diantara kerumanan
orang-orang menangis di sebuah tanah lapang
Aku mengira engkau selamat bu,
adikku cuma patah tulang, kakinya
berbalut kain perban.

Sabar ya bu,
Tak usah pikirkan nasibku
Karena aku sudah menang dalam pertarungan ini
Aku sudah damai bersama Tuhan
Menjadi orang-orang terpilih sebagai Syuhada.


Dipentaskan dalam Teatrikal Puisi di SC UIN Jakarta
Oleh Teater Postar, 10 Oktober 2009

Minggu, 30 Agustus 2009

HARI GELISAH

Pagi ini telah pergi
meninggalkan bekas
dalam seberkas
kertas lusuh
hasil kepalan
sepasang jemari.

Ia masih menggelinding
sejak pagi
di tiup angin
di pasir gersang
mengejar petang
yang tak mau kembali.

April 2009

RENTA BUTA

Lelaki renta
Ingin memeluk musim
Dengan kedua lengannya
tak lagi berhasta.

Petang ini ia mengumpat
Pada anak-anak zaman
Tentang esok
yang mesti ada.

April 2009

MEMBUNUH ZAMAN

Aku,
Ingin membunuh zaman
Agar tak lekas melaju
Pada tujuan angan.

Karena,
Anak-anak negeri banyak tak pandai
Mengemudi kapal
Di arus sintal.
Arus yang telah menenggelamkan
Sejarah panjang kerajaan-kerajaan.

Memang,
Kita tak seperti orang-orang pantai
Cekatan memburu ombak
Kadang membangun Istana
Dari kedalaman kerang mutiara.

Sekarang,
Tak usahlah berbalik arah
Di musim yang tak juga membaik
Elok kita berhenti di sini
Pada angin-angin ribut
Pada siang-siang gelombang
Pada permulaan musim.

Namun,
Perbanyak membaca peta
Agar kita tak tersesat
Menebak semua arah.
Arah yang kan melaju
Lepas
Entah kemana.

Mei 2009

Jumat, 28 Agustus 2009

MUASAL

Kadang,

Tangisku bergulir dalam bulir-bulir hujan

Atau bersama tetesan embun di pagi mendung

Bermuara pada aliran sungai nun jauh

Kulihat patahan-patahan hati berserakan

Mengotori perut sungai

Yang kini berubah muasal

Menjadi limbah-limbah busuk

Menguap di musim Kemarau.


29 Agustus 2009