Selasa, 13 Oktober 2009

GELISAH SENJA DI TANAH GADANG

Qin Mahdy
Mengenang Tragedi Gempa Sumatra, 2009


Sore, di bumi Minang.

Ketika itu orang-orang telah berjalan pulang
menuju rumah-rumah,
menuju gubuk-gubuk, menuju gedung-gedung,
menuju tempat perberhentian
walau untuk sekedar menghela nafas.

Kulihat anak-anak tak ada lagi yang bermain
di halaman rumah-rumah mereka.
Hanya menyisakan gulungan karet gelang yang bertebaran,
kertas bekas, sisa plastik jajanan dan tapak-tapak
kaki kecil yang belum terbenam
pada bulir-bulir debu yang masih cukup hangat.

Senja belumlah kelam,
Karena mata adik kecilku belum terpejam
Namun, lampu-lampu jalan telah menyala terang
Ingin menghidupkan malam yang baru memulai rencana.

”Aku ingi sekali keluar jendela,
melihat dari dekat gerak jarum jam di pusat kota”.
Namun, ibuku ingin aku tetap di rumah,
karena ”Senja adalah waktu bencana.”

Grrrrrrrrrrrrrrrr....
Huaaaaaaaaaaaaaaahhhhhh
Tolong! Tolong! Tolong!
Allahuakbar... Allahuakbar... Allahuakbar...!

Belum lama ibuku bertutur
Sekejap hatiku telah disambar oleh hingar-bingar
jeritan manusia dari berbagai penjuru arah.
Suaranya membahana, memekik pilu, menjerit luka
Hingga sesak rongga dadaku
yang tak mampu lagi menampung beban gelisah.

Akupun menjerit!
Ucapan takbir tak lepas kukumandangkan,
Pada ruang-ruang, pada mulut ibuku.
Sementara adik kecilku menangis tersedu-sedu
Bertanya tentang persoalan apa yang sedang
menimpa kita?

Gempa nak! Ini gempa!
Kita harus segera menyelamatkan diri.

Di sekelilingku dinding bergoncang hebat,
hingga meretak pokak dalam hitungan yang tak lagi berdetik
Semuanya hancur lebur, tiang-tiang berjatuhan
menimpa tubuhku jadi tak berdaya.

Sttttt
Sekejap sepi...

Kemana ibu? Dimana adikku?
Mengapa semua orang tak mau menjawab?
Ingin sekali aku berlari keluar sekencang-kencangnya,
menyelamatkan mereka dari petaka.
Namun, aku telah terperangkap bu,
oleh puing-puing maut yang membunuh
yang telah menusuk tajam, membentur memar,
menggiling lumat tubuhku tak lagi berupa.

Kini aku melihat kalian diantara kerumanan
orang-orang menangis di sebuah tanah lapang
Aku mengira engkau selamat bu,
adikku cuma patah tulang, kakinya
berbalut kain perban.

Sabar ya bu,
Tak usah pikirkan nasibku
Karena aku sudah menang dalam pertarungan ini
Aku sudah damai bersama Tuhan
Menjadi orang-orang terpilih sebagai Syuhada.


Dipentaskan dalam Teatrikal Puisi di SC UIN Jakarta
Oleh Teater Postar, 10 Oktober 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar