Selasa, 17 Mei 2011

SENJA DI BUKIT KERAMAT

Suatu petang bersamamu

Duduklah di sini, kawan!
Di musim panas yang tak lagi berjejak
pada kelender bulan buatan si Fulan.
Lihatlah langit di atas sana,
Tuhan ternyata masih melukiskan peta
penunjuk arah mata angin buat nelayan.

Kawan,
bacalah seluruh cerita gelisah tentang kotamu,
biar kudengar.
Tak perlu kau buatkan teh hangat untukku,
atau kopi istimewa hasil racikan istrimu
yang cantik itu.

Kenapa kau diam saja, kawan?
Malah kau selonjorkan kakimu di tetek bumiku
yang belum pernah dijamahi asap knalpot binal manapun,
bahkan congor-congor pabrik nakal yang konon
suka menjilati keanggunan dan keramat kotamu.

Kawan,
kulihat raut wajahmu masih semu
walau telah puas ditepas bias cahaya merah petang
yang menurutku sangat memesona.

Kenapa kau masih diam saja, kawan?
Aku tahu kabar hiruk-pikuk kotamu,
terlalu buruk rupanya untuk hidup berlama-lama
bersama istri dan anak cucu.
Aku dengar sudah banyak pemuda-pemuda tampan
bunuh diri,
gadis-gadis cantik menjual tubuh moleknya,
anak-anak tak lagi mengaji,
para orang tua sudah membiarkan
mereka menjelajahi kota sendiri,
tanpa pendidikan,
tanpa agama,
tanpa busana.
Lalu para pengemis,
kyai,
selebriti,
orang-orang Istana,
aku seringkali mendengar kisah buruk mereka
tiap pagi di layar televisi
atau dari koran-koran sisa bungkus gorengan.

Hiruplah udara sejuk kotaku ini kawan!
Ku tahu kotamu telah penuh disesaki
asap-asap mesin berbau busuk,
sampah-sampah pabrik mengotori
ruas jalan dan jantung kota,
got-got mampet,
dan jutaan raungan motor sering membuat kau
tak bisa tidur setiap malam,
saat kelam telah mengajakmu mendengkur.
Memang ada manusia-manusia keren,
katanya ingin menyelamatkan bumi,
tapi malah terus saja memperkosa alam
di balik gedung-gedung menjulang,
omong kosong!

Pandanglah disekelilingmu kawan!
Pandanglah ke arah sana,
ke Teluk Semaka,
atau ke Kota Agung nan panggung,
di belakangnya ada buki-bukit membentuk
Istana Tuhan yang mempesona,
lalu di tengah-tengahnya kau lihat kapal-kapal
nelayan seperti kumbang-kumbang
yang menghiasi taman yang dipenuhi bunga-bunga.
Apakah kau ingin tumpahkan seluruh gelisahmu
saat mereka hendak berlayar menemui nasibnya?
Kupinjamkanlah sebelah mataku ini
bila kau tak mampu melihat ada sorga
di puncak ketinggian ini.

Kawan,
lama aku menunggumu berucap,
sampai bibirku kini kaku,
namun kulihat ada gelagat senyum
di tepian bibirmu yang balu itu,
aku tahu kau malu.

Baiklah,
esok lusa kita ke Kota Agung,
mungkin kau akan lebih suka duduk di pantai,
di deretanbatang kelapa yang semampai,
kita minum es kelapa muda di sana,
sambil santai.

Diikutsertakan dalam sayembara menulis puisi "Batu Bedil Award 2010"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar