Sabtu, 25 September 2010
MEMURNIKAN PUISI, MENAJISKAN PUISI
Kata pertama, bahasa pertama, barangkali sejenis puisi itu, belum jelas benar makna kala itu dan tiap orang memaknai sebisanya. Yang paling penting di situ adalah: kegembiraan mengucap! Tidak memaksa untuk didengarkan! Tidak meminta diperhatikan.
Kata seorang penyair, puisi membuka ke masa depan bahasa. Saya tak mengerti itu, tapi saya ingin percaya pada kalimat itu. Bahasa itu hidup. Ia bisa mati, sekarat, atau lelah. Puisi, kadang dalam wujud yg tak ingin tampak, memberi nafas segar pada bahasa. Itu sebabnya puisi berharga. Ia jadi cagar bahasa, suaka kata. Dan penyair harus jadi penjaga yang cermat! Bukankah bahasa itu ada jauh sebelum Ilmu Bahasa dilembagakan? Saya kira dulu bahasa dimulai dengan beberapa patah kata.
Para pemakainya bersepakat untuk menambah kata baru, terus-menerus, satu menawarkan, yang lain setuju, sesuai keperluan pengucapan. Benda, hal-ihwal, bagian tubuh diberi kata. Ada seseorang atau beberapa orang yang amat menonjol dalam soal ini, dia dipercaya oleh kelompoknya. Dia pada masa ini mungkin disebut pujangga itu.
Puisi, seakan mengekalkan proses awal itu. Kita memberi kata pada yang terlupa diucapkan, yang tak diberinama, pada yang sia-sia, pada yang seakan tak perlu bermakna. Puisi itu mengejar kemurnian. Tentu saja puisi itu mudah cemar. Mudah bernajis. Bisa diselundupi oleh banyak hal.
Dalam berucap, kadang tidak mudah untuk jujur. Puisi - dengan kelok-beloknya - memberi ruang, menawarkan jalan itu: jalan untuk jujur berucap. Puisi bukan untuk sembunyi, tapi menyingkap apa yang tersembunyi. Puisi bukan untuk menyamarkan, tapi memberi sandi pada yang rahasia. Kadang kita tak tahu harus mengucap apa, karena apa yang terasa amat asing. Puisi memberi cara untuk menyosokkan apa yang ganjil itu.
http://www.facebook.com/notes/hasan-aspahani/ruang-renung-249-memurnikan-puisi-menajiskan-puisi/428359663308
Selasa, 20 Juli 2010
ANGAN DAN ANGIN CINTA
Cintaku kini adalah angan, kubiarkan angin meniupnya kemana lembah bumi Bundaku berpijak, kuharap sajak-sajak ini sampai, pada hatimu yang selalu tersenyum, melihat anak-anak negeri pandai menyalakan pelita, membaca gerak-gerik zaman dan meredam amarah musim yang tak lagi memberi tanda.
Bunda, di hari ulang tahunmu ini, kuharap hatimu semakin muda, selalulah menanak senyum! membakar semangat! agar anak-anak negeri selalu mencintaimu sampai kau tutup usia. I Lov U Bun!
Ciputat, 20 Juli 2010
Jumat, 16 Juli 2010
MENANAK LAMUN
Jakarta, 2010
Senin, 15 Maret 2010
ORANG-ORANG LAPAR
Seorang lelaki agak tua, tak berbaju, menghampiriku di ujung pagi, dengan wajah memelas ingin menjual celananya seharga lima ribu, kuberikan sepuluh ribu, ia malah bersimpuh, lalu berlari memanggil-manggil tukang ketoprak di pinggir jalan, diikuti dua lelaki tak bercelana lagi entah muncul dari arah mana.
Bintaro, 2010
DI HALAMAN SENJA
Coba tengok ke halaman senja, anak-anak kalian masih saja berkeliaran memungut dunia di atas trotoar, di jalan-jalan sibuk, di gang-gang sempit, di bis-bis kota, di warung-warung merang, di mesin-mesin judi, di gedung-gedung hiburan, di kantor-kantor perusahaan, di perut-perut pelacur yang tak lagi mendengar panggilan magrib.
Ajaklah mereka pulang, sebelum kelam benar-benar membutakan matanya, ambil air wudlu lalu sembahyang.
Bintaro, 2010
Jumat, 12 Maret 2010
LUKA CECILIA 3
Pagi-pagi sekali, Cecilia menangis lagi, di depan pintu kamar Ibunya yang sudah menganga, ia berpagut lutut, menutupi wajahnya dengan secarik kertas bertuliskan
"SELAMAT PAGI AYAH!"
"SELAMAT PAGI IBU!"
Bintaro, 2010
LUKA CECILIA 2
Cecilia, anak malang, menghampiriku di suatu siang, membawa sebuah cerita tentang mimpi, seekor kupu-kupu cantik ingin mengajaknya terbang, ke sebuah taman hijau tak beralamat. Saat ia hendak keluar melewati pintu, kupu-kupu itu menabrak punggung ibunya, mati. Cecilia pun menangis keras sambil memukul-mukul kepala Ibunya sedang memaki-maki "Cecilia si anak durhaka!"
Bintaro, 2010
LUKA CECILIA 1
Untuk Mama Diana dan Mama-Mama Dunia yang Selalu Sibuk
Cecilia, gadis belia, putri semata wayang Mr. Denny dan Nyonya Diana. Aku pengasuhnya sering menangis oleh tangisnya yang tak mau berhenti sejak pagi-pagi orok selalu ditinggal pergi oleh bapak-ibunya ke luar negeri, berburu gaji. Hingga siang berdiri di atas puncak panas matahari, air mata Cecilia tak jua berhenti. Bila berhenti, itu pertanda ia sudah letih, tertidur di atas kursi, kadang terbaring telentang di depan pintu kamar Ibunya. Aku tak pernah membiarnya sendiri berlari-lari di taman, menyobek-nyobek kertas, bermain barby, walau mukaku sering dijadikan tempat duduk boneka-bonekanya seisi lemari yang beraneka rupa buatan berbagai negeri. Aku cuma ingin membuat dia tertawa lepas, agar dunianya lekaslah kembali dari kegelisahan ini. Namun senja selalu mengundang tangis lagi, saat Cecilia menginginkan Ibunya? Kubilang sebentar lagi, padahal yang ditunggu baru pulang pukul 01.00 dini hari nanti.
Bintaro, 2010
Senin, 01 Maret 2010
JENDELA TUA
Ciputat, 2010
MENYULAM MUSIM
Ingin sekali ku menyulam musim-musim, menjadi panas-panas senja, jadi hujan-hujan purnama, angin-angin sepoi, bumi-bumi tak lagi lindu. Namun, benang rinduku tak cukup menenggelamkan bekas luka badai - tempo hari - pada bahan suteraku.
Ciputat, 2010